Tameng Terbesar


Pernah pada suatu hari, kamu menghadiahiku kepercayaan yang sangat besar. Kamu yakin bahwa aku mampu dan aku bisa, tanpa ada ragu yang kamu tunjukkan.
Entah dari mana keyakinanmu tentang diriku sangatlah kuat. Tanpa ragu kamu meminta aku untuk memegang amanah yang saat itu aku masih belum mengerti bagaimana cara menjalankannya. Dan dengan lantang kamu mengatakan “Kamu bisa, tenang akan aku dampingi sampai akhir”. Seperti mendapat ramuan yang mujarab, aku langsung tersihir dan merasa mampu menjalankan amanah itu.
Lalu aku mengambil kepercayaanmu dengan tangan kosong. Kamu tersenyum memberikannya, “Kamu bisa” lagi-lagi kalimat sihir itu kamu katakan. Dan aku mulai menjalankan amanah darimu karena tugas. Langkah awalku masih selalu saja menoleh padamu, kamupun tersenyum sambil terus menuntunku.
Di pertengahan jalan aku mengeluh, kamu sama sekali tidak marah atau memintaku untuk terus tetap melaju. Dalam lelahku kamu menyihirku lagi “Istirahat sayang, jangan dipaksa”. Kenapa sih kamu pandai sekali menyihir aku dengan kalimat sederhana seperti itu?
Entah kenapa sihirmu membuat aku malu akan lelahku dengan selalu ‘ada’nya kamu disetiap langkahku. Lalu akupun bangun dan menjalankan lagi tugasku. Sampai entah dilangkah keberapa dan dimana, aku merasakan langkahku sekarang karena cinta, bukan lagi sebatas tugas atau amanah darimu. Dan ini membuat aku merasa jika kamu sudah sangat yakin melepasku berjalan sendiri tanpa gandengan tanganmu. Membuat aku tersadar bahwa kamu benar, aku bisa dan aku mampu.
Sampai pada di hari kamu menuju pamit dari semua yang kamu buat ini. Aku sedih. Aku takut jika nanti tidak ada lagi yang akan menemani langkahku yang sudah terlanjur cinta ini. Kitapun juga sudah sama-sama tahu, bahwa hari ini hari terakhirmu disini dan aku yang akan selanjutnya menempati posisimu. Kamu tidak menunjukkan kesedihan atau apapun untuk pergimu dari langkah kita. Yang aku lihat, kamu sangat gembira karena tugasmu telah usai.
Di hari pamitmu. Dalam keramaian kita memisahkan diri. Berdiskusi siapa yang akan menggantikan posisiku untuk ke depan nanti. Aku menyukai saat-saat seperti ini, berdiskusi, duduk bersamamu. Dan lagi-lagi kamu mengakhiri ini dengan kalimat sihirmu “Aku nitip adik-adik kita ya sayang. Aku nitip rumah ini ke kamu”. Pyuuuuuurrrrrr aku serasa di siram air sesumur denganmu. Amanah apa lagi ini? besar sekali.
Aku terdiam, tidak tahu ingin berkata apa. Tapi hatiku berkata “Aku tidak boleh mengecewakan kamu”. Dan lamunanku kau ganggu, seakan kamu mampu membaca pikiranku “Jangan takut, aku akan selalu masih ada untukmu. Hanya saja diposisi yang berbeda”. Lalu diskusi ini kita tutup dengan pelukan.
⧫⧫ 

Ini posisiku yang baru. Dimana tugasku lebih berat lagi karena menggantikan posisimu bersama titipan amanah barumu. Aku memprediksikan bahwa langkahku di posisi ini akan baik-baik saja. Tanggung jawabku sekarang memang lebih berat, walau tugasku hanya sekedar duduk dan memperhatikan.
Ternyata prediksiku salah. Setiap ada sedikit saja kelemahan atau tanda-tandanya yang teraba, aku langsung bangun dari singgasanaku dan berlari menghampiri itu tanpa sadar bahwa banyak yang melihat larianku. Dalam setiap langkah larianku, aku mendengar bisikan-bisikan yang samar dan sedikit menyakitkan telinga. Tapi aku berusaha untuk tidak mendengarnya dan terus berlari.
Sampai dimana aku terjatuh, dan aku langsung mengadu padamu. Dengan senyum kamu berkata “Tidak apa-apa sayang, ini wajar, namanya juga proses belajar” dan kamu membangunkan lagi jatuhku. Menyihirku lagi dengan beribu mantra yang membuatku makin sadar akan tanggung jawabku.
Pada akhirnya aku berada di titik lelahku. Aku menangis, meraung-raung padamu. Menyesali kesalahanku yang telah menyakiti hati adik-adik kita. Tidak dengan baik menjaga rumah yang kamu bangun bersama mereka untuk kami ini. Aku merasa gagal. Karena kesalahanku sangat kuat mendorong lelah ini untuk segera berlalu sebelum bertemu waktu.
Lagi-lagi kamu tidak marah padaku. Kamu tidak menyalahkan langkahku dan kamu membiarkan lelahku. Aku semakin merasa bersalah, niat awal untuk tidak mengecewakanmu musnah sudah. Walau kamu berkata aku berhasil menjalankan semua tugas dan amanah tanpa mengecewakanmu, namun tetap saja aku merasa gagal karena telah menyakiti mereka dan ingin mengakhiri lelahku.
Dalam pengakhiranku kamu berkata “Kalau sudah tidak sanggup, gapapa sayang. Jangan dipaksa. Kalau kamu benar-benar sudah lelah, yaudah istirahat saja yaaa”.
Dan akhirnya, aku berhenti melangkah dari mereka yang telah aku sakiti hatinya.

Komentar

Postingan Populer