Kakak
“Pokoknya aku ga mau masuk pesantren kaya kakak!” teriak Nadin yang langsung lari kedalam kamar.
Sore itu Nadin berdebat dengan ayahnya karena ia tidak ingin masuk pondok pesantren seperti kakaknya. Bagi Nadin ponpes adalah penjara untuknya, ia berfikir apabila ia masuk ponpes ia tidak akan bebas untuk bermain sesuka dirinya. Nadin juga berfikir kalau ia bisa mendapatkan ilmu agama dari mana saja dan dari siapa saja sehingga ia tidak harus belajar dari pondok pesantren.
Andin yang melihat adiknya menangis kejar dan berlari ke kamar, langsung menyusulnya.
“De, buka dong pintunya kakak mau ngomong sama kamu” bujuk Andin dari balik pintu kamarnya.
“Kakak mau ngomong apaan lagi sih? Aku kan udah bilang aku ga mau masuk pesantren!” teriak Nadin.
Nadin anak yang keras kepala. Kalau dia bilang tidak ya tidak. Kakak dan bahkan orangtuanya pun tidak bisa mengubah setiap keputusan yang ia ambil. Wajahnya yang cantik, hatinya yang baik, selalu konsisten dengan ucapannya, tak pernah mengeluh dengan apa yang ia lakukan. Nadin juga anak yang cukup pintar dalam bergaul, ia mempunyai banyak teman. Dari anak jalanan hingga anak bangsawan. Nadin juga dekat dengan orang-orang hebat, seperti beberapa artis di negaranya, para guru agama yang ada di kampungnya dan beberapa dokter yang ada di kotanya. Mudah bergaul, itulah kelebihan yang dimiliki Nadin sehingga ia mempunyai banyak teman.
*Di malam hari*
“Sayang bangun” ucap Andin sambil membalikkan tubuh Nadin yang tertidur.
“Kak, Nadin engga mau masuk pondok pesantren kak. Kakak tau kan kalo Nadin itu suka banget main. Nanti kalau Nadin masuk pondok Nadin engga bisa main kak” ucapnya yang terbangun karena suara kakaknya.
“Iya sayang kakak ngerti. Tapi kamu harus masuk pesantren sayang. Kamu tau kan nenek dulu sebelum meninggal minta kita berdua buat masuk pesantren” bujuk Andin.
“Nenek sayang Nadin kok kak, nenek pasti ngertiin Nadin di surga sana. Kenapa Nadin engga mau masuk pesantren. Nadin yakin nenek pasti engga akan marah kok kak sama Nadin” ucap Nadin sambil merengek.
Andin yang sangat menyayangi Nadin hanya bisa tersenyum dan tertawa kecil mendengar ucapan adiknya itu. Andin tak akan tega bila terus-terusan melihat adiknya menangis tiada henti. Bagi Andin, kebahagiaan Nadin adalah segala-galanya.
*Keesokkan harinya*
“Sudahlah yah, Nadin tidak usah di paksa masuk pesantren. Ayah mau Nadin terus-terusan mengurung diri seperti itu?” bujuk Andin kepada ayahnya saat sedang membaca koran di ruang keluarga.
“Sudahlah yah, Nadin tidak usah di paksa masuk pesantren. Ayah mau Nadin terus-terusan mengurung diri seperti itu?” bujuk Andin kepada ayahnya saat sedang membaca koran di ruang keluarga.
“Tapi nak, dia harus
masuk pesantren. Kamu masih
ingat pesan nenek kan?”
ucap ayahnya.
“Iya yah aku tau, tapi ayah kaya engga tau Nadin saja. Nadin kan anaknya nekat yah, keras kepala” jelas Andin.
“Coba panggil adikmu dulu
sana kak” ucap ibu
sambil memberikan minuman untuk ayah.
Andin langsung ke kamar
memanggil Nadin. Namun
Nadin masih tetap tidak
ingin keluar kamar
apalagi menemui ayah dan
ibunya yang sudah
mendaftarkannya di pondok
pesantren. Nadin anak keras
kepala. Sangat keras
kepala. Bahkan terkadang
ayah dan ibunya
tidak tahu harus berbuat apa supaya
keras kepala Nadin itu
sedikit berkurang. Tetapi Andin
selalu punya banyak
cara untuk meluluhkan keras kepala
adiknya itu.
Di ruang keluarga. Nadin, Andin, ayah
dan ibunya berkumpul. Ayah yang melihat kehadirannya Nadin dan Andin
segera melipat koran yang
sedang di bacanya.
“Sini sayang, duduk samping
ayah” ucap ayahnya
sambil memegang tangan Nadin.
“Coba ayah tanya, kamu kenapa
engga mau masuk pesantren?”
tanya ayahnya.
“Ayah, ibu. Ayah sama
ibu kan tau
kalau Nadin suka
sekali main. Kalau nanti Nadin masuk pesantren Nadin mau
main sama siapa?
Kemana? Iya sih
di
sana pasti Nadin akan punya teman baru
dan ada kak
Andin
juga. Tapi kan tetap aja Nadin engga bisa
bebas yah, bu. Lagian juga belajar
agama kan engga
harus di pesantren. Nadin kenal banyak guru-guru agama kok. Ayah
sama ibu juga
tau kan seberapa
dekatnya Nadin sama
bu Rahma, guru agama Nadin
waktu sekolah dulu. Nadin
juga tau kok
kalau ayah dan
ibu masukin Nadin ke pesantren karna keinginan
nenek” jelasnya.
Ayah, ibu, dan Andin hanya tertawa
kecil mendengar penjelasan Nadin yang tidak
ingin masuk ke pesantren
dengan wajah cemberutnya yang membuktikan
bahwa ia memang benar-benar tak ingin masuk pesantren.
Karena Nadin anak yang
paling di manja di keluarga, akhirnya ayah dan ibunya menuruti apa mau
Nadin. Dengan syarat Nadin harus banyak belajar
agama dengan guru-guru
besar yang ia
kenal.
Nadin dan Andin yang mendengar keputusan ayah dan
ibunya itu langsung gembira. Dan memeluk
tubuh ayah dan ibunya
secara besamaan. Mereka memang keluarga
bahagia yang di balut dengan kesucian
agama yang selalu
mereka andalkan dalam hidup
mereka.
**
“Kamu udah solat de?” tanya Andin sambil
melipat mukenanya sehabis solat.
“Sudah kak. Kak,
besok main yuk” ajak
Nadin.
“Mau main kemana?”
tanya Andin.
“Ke toko buku
kak, Nadin mau beli
buku agama yang baru di
tulis guru agama
Nadin waktu SMP kak” jelasnya.
“Boleh tuh, oke
besok abis sarapan terus kita bantu
bibi beresin rumah, baru jalan ya” ucap Andin.
*Keesokkan harinya*
Di toko buku
Nadin melihat sosok lelaki
yang ia rasa cukup sangat
mengenalnya. Nadin menghampiri lelaki itu
dan menegurnya.
“Permisi kak, kakak yang
namanya kak Aji
bukan?” tegur Nadin.
“Iya nama saya Aji, kamu siapa
ya?” tanya Aji.
“Saya Nadin kak, adiknya
kak Andin teman kecil
kakak dulu. Masih
ingat kah?” ucap Nadin sambil mengulurkan
tangannya.
“Oh Nadin, Nadin
Syafia kan? Adiknya Andin Restiani.
Yang dulu waktu aku
main ke rumah Andin kamu yang selalu
nyanyi-nyanyi sambil bawa makanan di tagan kanan kiri kamu trs kamu cuma
pake kaos singlet doang. Hahaaha” ucapnya sambil tertawa.
“Ih kakak mah
ngeledek aja” ucap Nadin
cemberut.
“Hahahah bercanda cantik. Kamu sekarang sudah dewasa
ya, sudah besar, cantik pula” pujinya.
“Hahha kakak bisa
saja memujinya. Kakak sama siapa
di
sini?” tanya Nadin.
“Aku sendirian saja dek, kamu
sama siapa?” tanya Aji.
“Aku sama kaka
Andin
kak, itu dia ada
di tempat buku hijab. Paranin gih. Sudah lama
kan kakak tidak
bertemu dengannya setelah kak Andin
masuk pesantren” jelas Nadin sambil menunjuk
ke arah Andin.
Ntah angin apa yang
keluar dari mulutnya Nadin sehingga ucapannya itu
membawa Aji melangkahkan kakinya untuk menemui Andin. Andin dan Aji
berbincang cukup lama.
Nadin pun sengaja membiarkan mereka berduaan
di tempat baca, mungkin untuk sekedar mengenang masa lalu mereka
berdua dahulu yang
pernah bersama.
*Malam harinya*
Sebelum Nadin dan
Andin tidur mereka selalu menghabiskan waktu di teras
depan kamar mereka. Sekedar hanya duduk
santai sambil melihat
indahnya langit malam, merasakan sejukanya angin yang
membawa ketenangan tersendiri untuk mereka.
“Kak, lihat deh bintang yang berdua
itu. Yang ada
di samping bulan” ucap
Nadin sambil menunjuk ke arah
langit.
“Bintang itu kaya kita berdua
ya kak, setiap
malam selalu berduaan.
Mereka dekat dengan bulan karena mereka
tahu bulan itu
tidak akan mungkin
ada
dua, makanya bintang-bintang itu nemenin bulan yang lagi
sendirian disana. Sama halnya dengan
kita ya kak,
kita selalu berdua bahkan terkadang kita selalu menemani
orang-orang yang sedang sendirian.
Kaya misalnya waktu kita
nemenin mba Mini ngegalau di taman
belakang rumah gara-gara di tinggal kawin sama
mantan pacarnya ya kak.” Jelas
Nadin.
“Heheh iya de.
Kalo misalnya nanti bintang yang deket
bulan cuma satu
kamu jangan lelah untuk
selalu ada buat nemenin
bulan ya sayang. Tetep setia
di samping bulan sampai matahari
tiba.” Jelas Andin.
“Memang bintang kakak kemana?” tanya Nadin.
“Bintang aku? Bintang aku kan engga selalu ada di samping bintang kamu de. Bintang aku kan pasti selalu pergi mengikuti kemanapun aku pergi. Jadi kalau kakak lagi engga ada, kamu cerita aja sama mereka ya. Cerita dengan alam itu akan mendapatkan rasa puas tersendiri buat kamu loh de.” Jelas Andin.
Malam itu kedekatan
mereka sangat terasa lebih
hangat karena hadirnya
bintang-bintang dan bulan
yang ada di langit yang menemani mereka saling bertukar
cerita pada malam itu.
**
“Kak, lo kenapa?” tanya Nadin yang
melihat air bertumpahan di baju
Andin yang sedang
minum.
“Ibuuuuuu kakak bu” teriak
Nadin panik.
Siang itu saat ibunya sedang
memasak bersama bibinya di dapur dan Andin
sedang minum. Nadin
melihat kalau air yang
ingin di minum Andin
tidak ada yang masuk kedala mulutnya. Yang Nadin lihat
semua air itu
tumpah dan membasahi baju Andin.
Nadin, ibu dan
bibinya langsung membawa Andin ke
kamar. Di kamar Andin
hanya bisa menangis, ia tidak
mengerti apa yang
terjadi. Lalu Nadin memberinya minum ke
Andin dengan menyuapinya menggunakan sendok sedikit
demi sedikit. Kekhawatiran Nadin saat itu sangat besar. Nadin tidak tahu
apa yang terjadi dengan kakaknya, apa yang
dirasakan kakaknya. Kakaknya hanya diam
saat ibu dan
dirinya bertanya ke Andin.
Pada malam harinya, ayah dan ibunya memutuskan untuk tidur
di kamar Nadin
dan Andin. Nadin
yang sangat mencintai kakaknya itu hanya bisa meneteskan
air mata melihat keadaan kakanya, Nadin terus memeluk dan menciumi
wajah kakaknya tiada henti. Sampai akhirnya Nadin tertidur di pelukan kakaknya.
Keesokkan paginya, Andin mengalami demam yang
sangat tinggi sehingga
harus di larikan ke rumah
sakit. Namun sayang
nyawa Andin tidak tertolong, Andin menghembuskan nafas terakhirnya saat berada di perjalanan
menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah
sakit dokter menjelaskan
kepada ayah dan
ibunya kalau Andin menderita
Leukimia yaitu penyakit
kanker darah. Ibunya
langsung menangis di pelukan ayahnya tidak percaya akan apa yang
terjadi pada Andin,
mereka sangat menyesali
keterlambatan mereka tentang penyakit Andin ini.
Saat Nadin pulang
kerumah, ia melihat banyak sekali tetangga-tetangga
di halaman rumahnya. Ada yang
sedang memotong kayu, ada yang
sedang menggunting kertas berwana
kuning, ada yang
sedang menulis nama orang
di kertas kuning itu. Nadin menghampiri
mereka yang sedang sibuk mengurus
sesuatu yang Nadin tidak
tahu apa yang
mereka buat. Lalu Nadin membaca nama kakaknya
ada di atas
kertas kuning itu, Nadin
langsung berteriak. Nadin menangis, semua orang melihat
ke arahnya. Nadin di bawa
ke dalam rumah oleh om
dan tantenya, mereka mencoba
menenagkan Nadin, namun Nadin
masih saja menangis.
Saat jenazah Andin tiba
di rumah, Nadin
langsung menghampirinya. Nadin ingin memastikan
kalau jenazah yang masuk
kerumahnya itu bukanlah kakaknya
yang selama ini selalu ada untuk Nadin.
Namun Nadin tidak
bisa menolak kenyataan yang sudah terjadi, apa yang
ia lihat di balik
kain putih yang
menutupi wajah jenazah
itu ternyata benar-benar kakaknya. Nadin menangis histeris, kali ini
tangisan Nadin lebih kencang
dari yang sebelumnya.
Ibu dan ayahnya
mencoba memeluk Nadin dan menenangkannya.
Meminta Nadin untuk ikhlas melepaskan
kepergian Andin agar nanti Andin tenang di surga tanpa
beban apapun.
Di proses pemakaman Andin, Nadin sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Nadin hanya bisa meneteskan air matanya, melihat
proses demi proses
pemakaman kakaknya. Nadin masih tidak percaya kalau kakaknya akan secepat
ini pergi meninggalkannya.
Setelah pemakaman selesai, semua orang bersalaman
dengan Nadin. Nadin hanya bisa bersender
lemas di tubuh ibunya.
Disaat pemakamannya Andin, Aji
juga hadir, Aji
menemui Nadin dan orangtuanya
Nadin. Aji bersalaman dengan mereka,
lalu Aji memeluk Nadin, mencoba menenangkan Nadin yang
masih sangat terpukul
akan kepergian Andin. Di dalam pelukan Aji, Nadin menangis lagi. Lalu
Aji mencium kening Nadin.
**
Kini seminggu sudah kepergian
Andin, seminggu sudah Nadin mencoba
hidup sendiri tanpa kakaknya,
seminggu sudah Nadin
tidur dengan bayangan
kakaknya.
Saat Nadin sedang membereskan kamarnya, membereskan barang-barang kakaknya untuk di
simpan, Nadin menemukan dua lembar
surat yang ditulis
kakaknya sebelum kakaknya pergi. Lalu Nadin
keluar teras depan kamarnya, duduk di
kursi dimana kursi
itu yang
sering ia duduki berdua dengan kakaknya
untuk melihat bintang di langit.
Nadin membuka kertas itu dan
membacanya.
“Rabu,
8 November 2006
Ya
Allah Hamba bermohon pada-Mu angkatlah penyakit-penyakit ini. Supaya hamba
dapat berjalan lagi seperti teman-teman hamba yang lain. Ya Allah,
hamba bermohon kepada engkau
buanglah penyakit-penyakit hamba yang
ada di dalam tubuh
hamba, supaya hamba bisa
lagi mengikuti pengajian ini. Ya
Allah angkatlah juga penyakit ayahanda hamba, sembuhkanlah
aku dan ayahku, hamba bermohon
kepada engkau buanglah
penyakit-penyakit hamba, penyakit
adik hamba, dan
juga ayah hamba. Hamba bermohon kepada Engkau
tolong kabulkan doa hamba-Mu
ini.”
Nadin meneteskan air mata
saat membaca surat terakhir
yang di tulis Andin sebelum Andin pergi untuk selamanya.
Nadin tersenyum membaca surat kakaknya, Andin masih menyelipkan
nama Nadin di dalam
doa terakhirnya sebelum Andin menutup mata untuk selamanya.
Nadin melihat ke langit, bintang yang ada di samping bulan itu
mereka masih berdua. Nadin yakin,
walaupun Andin tidak
ada di sisinya lagi tapi
Andin ada di atas sana untuk selalu
menemani Nadin dan bulan itu. Kini Nadin
tidak lagi merasa sendiri,
karena Nadin yakin kalau
kakaknya tidak akan tega
meninggalkan Nadin sendiri di sini.
Komentar
Posting Komentar