Cerita tentang Workshop "Menghadirkan Puisi Di Hati Kita"



Hari ini gue dapat ilmu baru. Ilmu yang engga pernah gue dapetin di bangku pendidikan gue yang lagi gue jalanin. Sekedar mau berbagi cerita, gue Nanda anak mahasiswa keperawatan yang mulai dengan puisi saat gue lelah dengan pelajaran keperawatan yang gak pernah gue ngerti kalau belom gue praktekin langsung. Kadang juga di praktekin gue suka lupa sama apa yang udah di pelajarin.
Gue anak keperawatan yang suka banget sama puisi, puisi hadir di kehidupan gue saat gue mulai lelah belajar tentang keperawatan, puisi hadir di hidup gue saat gue mulai merasakan apa itu cinta dan apa itu hidup yang bener-bener hidup.  Awalnya, gue gak pernah tau siapa itu M. Aan Mansyur, Sapardi Djoko P, Chairul Anwar, WS. Rendra, dan penyair-penyair lainnya. Yang gue tau, apa yang gue rasa terus gue tulis dalam sebuah baitan itu adalah puisi, itu karya, itu hal yang menyenangkan buat gue. Tapi sesering gue menulis puisi, sesering itu juga gue mulai tau nama-nama penyair yang populer maupun tidak. Tapi jujur, gue salah satu orang yang males baca puisi karya orang lain, mau itu penulisnya populer atau tidak, gue jarang baca karya mereka.
Tulisan-tulisan gue selama ini gue akuin sajak yang paling bagus saat gue selesai menulisnya, lalu gue simpen di dalam satu file yang gue sembunyiin rapih yang hanya gue doang yang tau. Gue juga gatau apa maksudnya gue ngelakuin itu. Tapi setelah sekian lama tulisan itu gue simpan dan gue baca lagi, rasanya aneh, udah gak seenak waktu gue baru banget selesai nulis. Dan dari situ, gue mulai belajar tentang apa itu puisi, tentang puisi-puisi yang di tulis oleh penyair-penyair hebat yang berbakat. Gue masih dan lagi belajar untuk menulis puisi sebagus mereka. Entah hasilnya apa, gue jarang memperkenalkan puisi gue sama orang-orang. Gue takut, tapi gue gak tau apa yang gue takutin. Mau ikutan komunitas puisi aja gue juga gak berani, padahal kepengen banget gabung sama mereka, dapet ilmu baru dari mereka, bisa sharing sama mereka biar tulisan gue enak dibaca dan gak ngebosenin.
Hari ini, 11 Desember 2016. Ini pertama kalinya gue ada di tengah-tengah orang-orang yang suka dengan puisi, orang-orang yang sering menulis puisi, orang-orang yang pandai berpuisi. Seru sih, menyenangkan pula. Workshop tentang “Menghadirkan Puisi Di Hati Kita” menambah pengetahuan baru buat gue kalau puisi itu adalah rasa, puisi itu adalah kita si penulis, puisi itu adalah kata, puisi itu adalah cinta, dan puisi itu adalah kehidupan. Di dalam workshop gue dan peserta lainnya di ajarin bagaimana caranya menulis puisi dari hati, menulis puisi untuk dihadirkan dihati dengan narasumber yang gue pun juga baru tau beliau hari ini yaitu kakak Pringadi Abdi Surya. Kak Pring adalah seorang penulis yang memiliki moto “Ada seni untuk masyarakat”, puisi beliau ditujukan untuk masyarakat, untuk pembaca, agar pembaca mengerti apa yang beliau tulis. “Untuk apa menulis kalau tidak dimengerti si pembaca?” kalimat itu yang sampai saat ini masih tersirat difikiran gue. Bener juga sih, buat apa kita nulis kalau yang baca engga ngerti apa maksud dari apa yang kita tulis, kan percuma, gak penting juga jadinya tulisan kita.
Lalu di tengah-tengah wokshop kak Pring memberikan latihan pertama, dimana beliau memberikan satu kata yang harus di sebut langsung oleh peserta wokshop tentang apa yang beliau katakan. Dapatlah sembilan kata yang keluar spontan dari beberapa peserta, yaitu kata “Jogja, Solo, hujan, malam, rindu, jatuh cinta, lagu, buku, kenangan”. Kak Pring minta semua peserta workshop membuat puisi dari kesembilan kata tersebut dalam waktu lima menit. Gue ikut mencoba latihan yang kak Pring kasih ke peserta workshop, ini hasil tulisan gue selama lima menit:
Kenangan

Hujan sendiri atau hujan dalam kesendirian?
Hujan di Jogja membuat aku bingun akan rindu yang hadir dalam buku
Setiap malam aku mendengarkan lagu jatuh cinta yang membuat
hatiku semakin membara karenanya
Dan Solo adalah kota tentang kita yang menyenangkan
Namun kerinduan bersamamu adalah keinginan yang menyakitkan

Dan dalam latihan itu gue dapet kesimpulan, bahwa satu kata selalu bisa menjadi satu judul puisi yang sangat menakjubkan.
Lalu Kak Pring minta para peserta untuk membacakan puisinya di depan, banyak yang angkat tangan dan banyak juga yang hanya terdiam menikmati suasana. Dan gue salah satu dari pernyataan yang terakhir itu.
Lalu kak Pring kasih latihan lagi yang kedua. Dimana kita para peserta Workhsop harus membalas puisi Bapak Sapardi yang berjudul Aku, dengan waktu yang sama, yaitu hanya lima menit. Dan ini hasil dari tulisan gue selama lima menit yang ngebuat otak gue berfikir keras harus jawaban seperti apa yang gue tulis disni.

Kamu tak perlu menjadi abu untuk mencintaiku
Kamu tak perlu menggunakan isyarat yang diajarkan awan untuk
menyampaikan cintamu padaku
Kamu hanya perlu menjadi dirimu
Untuk bilang kamu cinta padaku

Dan di sesi-sesi terakhir gue mulai saadar, kalau tulisan itu di tulis untuk dibaca bukan untuk disimpan. Terimakasih kak Pring. Oiya terimakasih juga kak Danis (Malam Puisi Jakarta).


Nanda

Komentar

Postingan Populer